Hari Minggu, 21 Februari 2010, aku mengunjungi Pulau Dewata, Bali. Setibanya disana, aku langsung dibawa oleh mobil elf putih menuju ke “tree top” Bedugul. Rasa senang dan takut akan tingginya pohon menghantuiku. Ini saatnya aku mengulang kembali rasa-rasa itu yang pernah aku alami 2 tahun lalu. Setelah menempuh 3 jam perjalanan, aku pun tiba di kawan Kebun Raya Bedugul. Waktu menunjukkan sekitar pukul 12.30 WITA. Rasa lapar menyerangku. Aku dan kelompokku makan siang di bawah area “tree top”. Saat makan siang, konsentrasiku mulai terpecah karena melihat orang-orang yang sedang berjuang melawan ketakutannya di ketinggian pohon.
Akhirnya, perjuanganku menyusuri tingginya pohon akan segera dimulai. Para panitia menginformasikan bahwa jika kita berhasil melewati 1 level, maka kita akan mendapatkan poin. Hal tersebut digunakan untuk menyemengati kita semua. Aku memakai peralatan pengaman agar aman berada di atas pohon. Kebingungan melanda pikiranku, aku bingung memilih level yang mana. Namun, pada akhirnya aku memilih level biru.
Langkah pertama saja sudah begitu menyeramkan. Semangat dari kakak-kakak pembimbing terngiang-ngiang di telingaku. Kata-kata penyemangat tersebut menyulut api semangatku untuk terus maju menghadapi rintangan. Rintangan pertama sudah terlihat menyulitkan. Aku harus bersabar menunggu teman di depanku selesai di pos agar tali tidak terlalu bergoyang. Terlihat temanku dapat melewatinya dengan cukup mudah, aku pun segera melewati rintangan pertama tersebut.
Rintangan kedua sangat sulit untuk dilewati. Aku harus mempersiapkan mental dan keberanian untuk melewatinya. Saat harus melewatinya, jantungku berdebar cepat dan kakiku bergetar kencang. Namun, teriakan semangat para instruktur dari bawah membuatku berhasil sampai di pos perhentian.
Namun, di tengah perjuanganku melawan rintangan-rintangan, sol sepatuku mulai terlepas. Saat sampai di daerah jaring dimana aku harus memanjat, sol sepatuku sudah benar-benar parah. Kondisi sepatuku sudah tidak memungkinkan untuk membawaku sampai ke garis akhir. Dengan terpaksa dan perasaan kecewa, aku turun dengan dibantu oleh instrukutur “tree top”.
Seturunnya aku dari atas pohon, aku tidak langsung menuju ke mobil. Masih ada teman-temanku yang sedang berjuang di atas. Tugasku sekarang adalah menyemangati mereka dari bawah. Tak lama kemudian, rintik-rintik hujan mulai turun. Rasa khawatir menyelimutiku, bagaimana dengan teman-temanku yang masih berada di atas? Hujan semakin deras. Namun, aku yakin mereka pasti dapat melewatinya.
Seturunnya aku dari atas pohon, aku tidak langsung menuju ke mobil. Masih ada teman-temanku yang sedang berjuang di atas. Tugasku sekarang adalah menyemangati mereka dari bawah. Tak lama kemudian, rintik-rintik hujan mulai turun. Rasa khawatir menyelimutiku, bagaimana dengan teman-temanku yang masih berada di atas? Hujan semakin deras. Namun, aku yakin mereka pasti dapat melewatinya.
Akhirnya, perjuanganku menyusuri tingginya pohon akan segera dimulai. Para panitia menginformasikan bahwa jika kita berhasil melewati 1 level, maka kita akan mendapatkan poin. Hal tersebut digunakan untuk menyemengati kita semua. Aku memakai peralatan pengaman agar aman berada di atas pohon. Kebingungan melanda pikiranku, aku bingung memilih level yang mana. Namun, pada akhirnya aku memilih level biru.
Langkah pertama saja sudah begitu menyeramkan. Semangat dari kakak-kakak pembimbing terngiang-ngiang di telingaku. Kata-kata penyemangat tersebut menyulut api semangatku untuk terus maju menghadapi rintangan. Rintangan pertama sudah terlihat menyulitkan. Aku harus bersabar menunggu teman di depanku selesai di pos agar tali tidak terlalu bergoyang. Terlihat temanku dapat melewatinya dengan cukup mudah, aku pun segera melewati rintangan pertama tersebut.
Rintangan kedua sangat sulit untuk dilewati. Aku harus mempersiapkan mental dan keberanian untuk melewatinya. Saat harus melewatinya, jantungku berdebar cepat dan kakiku bergetar kencang. Namun, teriakan semangat para instruktur dari bawah membuatku berhasil sampai di pos perhentian.
Namun, di tengah perjuanganku melawan rintangan-rintangan, sol sepatuku mulai terlepas. Saat sampai di daerah jaring dimana aku harus memanjat, sol sepatuku sudah benar-benar parah. Kondisi sepatuku sudah tidak memungkinkan untuk membawaku sampai ke garis akhir. Dengan terpaksa dan perasaan kecewa, aku turun dengan dibantu oleh instrukutur “tree top”.
Seturunnya aku dari atas pohon, aku tidak langsung menuju ke mobil. Masih ada teman-temanku yang sedang berjuang di atas. Tugasku sekarang adalah menyemangati mereka dari bawah. Tak lama kemudian, rintik-rintik hujan mulai turun. Rasa khawatir menyelimutiku, bagaimana dengan teman-temanku yang masih berada di atas? Hujan semakin deras. Namun, aku yakin mereka pasti dapat melewatinya.
Seturunnya aku dari atas pohon, aku tidak langsung menuju ke mobil. Masih ada teman-temanku yang sedang berjuang di atas. Tugasku sekarang adalah menyemangati mereka dari bawah. Tak lama kemudian, rintik-rintik hujan mulai turun. Rasa khawatir menyelimutiku, bagaimana dengan teman-temanku yang masih berada di atas? Hujan semakin deras. Namun, aku yakin mereka pasti dapat melewatinya.
0 comments:
Post a Comment